Penampilan kiai pendiri dan sekaligus perintis pesantren Lirboyo ini, memang tidak mengesankan seorang kiai besar. Kiai satu ini cukup tawadu` dan sederhana. Tak salah, kesan yang tertangkap adalah seperti orang biasa, bukan seorang kiai yang alim. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Karena itu, pernah seorang santri baru yang datang ke pesantren mau mondok dan sempat kecele. Alkisah, suatu hari ada seorang santri yang datang ke pesantren Lirboyo mau berguru kepada KH. Abdul Karim. Saat turun dari kendaraan, tepatnya di lingkungan pesantren dan menemui KH Abdul Karim --yang lantaran tidak berpenampilan layaknya seorang kiai-- dengan tanpa sungkan, santri itu meminta bantuan untuk membawakan kopernya ke kamar. Anehnya, sang kiai tak keberatan, justru diam saja dan langusng mengangkat barang bawaan santri tersebut. Saat santri itu memasuki pesantren diiringi sang kiai membawa koper miliknya, tak sedikit santri Lirboyo yang kaget. Bahkan ada yang lari karena ketakutan. Anehnya, kekagetan dan ketakutan santri-santri itu tak membuat santri baru tersebut tanggap, malah biasa-biasa saja. Cuek. Selang beberapa hari kemudian santri itu baru tahu saat ikut shalat berjama`ah setelah melihat bahwa orang yang membawakan kopernya kemarin itu menjadi iman, yang tak lain adalah KH. Abdul Karim.
Kontan, santri anyar itu tersentak kaget. Beberapa hari kemudian, entah tak kuat menahan atau menanggung malu, santri itu pulang kampung, tidak pamit.
Sepenggal kisah di atas baru satu bentuk kerendahan hati KH. Abdul Karim. Sebab, kiai satu ini juga dikenal amat sabar, jauh dari sifat marah, santun dalam bertutur dan jika menasehati orang lain lebih pada bentuk “tindakan” daripada kata-kata. Lebih dari itu, kiai satu ini berasal dari keluarga biasa yang berjuang dan tekun belajar hingga akhirnya bisa jadi kiai yang alim. Anak Seorang Petani Biasa Adalah Manab, nama kecil KH. Abdul Karim. Lahir sekitar tahun 1856, di Dukuh Banar, desa Diangan, Kawedanan Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Ia merupakan putra ketiga dari pasangan Abdur Rahim-Salamah. Selain sebagai seorang petani, ayah Manab juga seorang pedagang. Kehidupan keluarga Abdur Rahim sebenarnya berkecukupan, hanya setelah sang ayah meninggal dan usaha itu dilanjutkan oleh sang istri serta tak lama kemudian Salmah –ibu Manab- menikah lagi, Manab memutuskan untuk mengembara dengan tujuan menuntut ilmu, ingin meniru kedua kakaknya, yakni Aliman dan Mu`min yang lebih dulu berkelana. Keinginan Manab itu, nampaknya terinspirasi dari kharisma alim ulama pengikut P. Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi`i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas dan lain-lain. Dia ingin mengikuti jejak mereka. Ia tidak rela jika hanya menjadi orang biasa, karena itu walau ia hanya anak seorang petani biasa, dia yakin bahwa keturunan sejati adalah keturunan sesudahnya, bukan sebelumnya. Karena bagi Manab, nasab tidaklah penting, yang penting adalah ilmu. Suatu hari, Aliman pulang ke Magelang. Rupanya Aliman juga bermaksud mengajak Manab yang saat itu berusia 14 tahun untuk berkelana. Dengan berbekal restu orangtua, Manab akhirnya berangkat ke Jawa Timur. Dalam perjalanan itu, kedunya sampai di Dusun Gurah Kediri, bernama Babadan. Di susun inilah, kedunya menemukan sebuah surau yang diasuh oleh seorang kiai, dan mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amalaiyah –dengan membagi waktu sambil ikut mengetam padi, menjadi buruh warga desa saat panen tiba. Setelah dirasa cukup, ia meneruskan nyantri ke pesantren yang terletak di Cepoko, 20 kilometer sebelah selatan Nganjuk, dengan bekerja di pesantren itu. Di sini, Manab belajar selama 6 tahun. Lantas pindah ke pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono. Di pesantren ini pula, konon Manab memperdalam al-Qur`an. Dengan berjalannya waktu, Manab kian beranjak dewasa. Ia semakin menambah ilmu dengan tekun mengaji. Seakan tak puas hanya belajar di dua pesantren, Manab pindah ke Sidoarjo, pesantren Sono --yang terkenal akan ilmu sorofnya. Di pesantren ini, ia mondok 7 tahun dan tidak lagi belajar sambil bekerja, karena seluruh kebutuhannya sudah ditanggung kakaknya. Manab sempat becerita kepada cucu tertuanya, Agus Ahmad Hafidz, “Aku bisa nyantri, karena dianggat oleh kakakku”. Di pesantren itu, dia memperdalam ilmu sorof. Karena dia ingin jadi spesialis ilmu gramatika Arab ini, sehingga memilih ilmu ini sebagai hobinya. Karena baginya, ilmu sorof itu bagaikan ibunya ilmu sedangkan nahwu adalah ayahnya ilmu. Dari Sono, ia lalu nyantri ke pesantren Kedungdoro dan kemudian ke Madura untuk nyantri kepada kiai Kholil bangkalan (wafat tahun 1923). Saat belajar ilmu di Madura, Manab banyak menimba ilmu dan tak jarang menerima berbagai ujian. Sempat Manab bekerja guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama Abdullah Fiqih (dari Cemara, Banyuwangi) ke daerah Banguwangi dan Jember. Tapi, apa yang terjadi setelah ia bersusah payah kerja dan pulang dengan membawa hasil? Justru, hasil dari kerjanya itu diminta oleh kiai Kholil untuk makanan kambing-kambing sang kiai. Mau bagaimana lagi, Manab menyerahkannya. Rupanya, itu sebagai isyarat dari Kiai Kholil bahwa Manab ternyata tidak diijinkan bekerja. Konon, sebagai gantinya Manab disuruh memetik daun pace yang tumbuh di sekitar pondok untuk makan sehari-hari. Dari daun itu, Manab mengganjal perutnya. Konon sering makan sisa kerak nasi dari teman-temannya atau kadang ampas kelapa. Tetapi, semua ini tidak pernah ia keluhkan. Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini sehingga tak aneh jika Manab lebih dikenal sebagai santri yang betah dalam keadaaan lapar. Anehnya, semua itu bagi Manab dirasa sebagai bentuk “perjuangan” untuk mendapat sesuatu yang diharapkan kelak. Di pesantren ini, hampir 23 tahun Manab nyantri. Saat itu ia sudah berusia 40 tahun, sehingga sudah mencerminkan sosok yang alim dan figur Manab-pun telah menampakkan sosok sesorang kiai. Tidak salah, jika santri-santri menempatkan Manab sebagai kiai, tempat untuk bertanya, minta pendapat dan berguru. Salah satu kiai yang sempat berguru kepadanya adalah Kiai Faqih asal Patik Nganjuk. Kealiman Manab tentunya bukan sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Manab dengan tekun mengaji kitab-kitab kuning dan melakukan telaah. Meski dia kekurangan uang untuk membeli kitab, namun dia punya siasat jitu. Konon, Manab sering melakukan barter. Kitab yang sudah dia pelajari, dia tukar dengan kitab-kitab baru milik temannya. Kadang langsung dijual, lalu dari uang itu dia belikan kitab yang baru. Diambil Menantu Seorang Kiai Setelah cukup lama, kiai Kholil merasa Manab sudah lulus. Lalu Manab pamit pulang. Namun sesampainya di Jawa Timur, dia mendengar salah satu sahabatnya kala mondok di Madura, kiai Hasyim Asy`ari telah 3 tahun membina pesantren di Tebuireng, Jombang yang membuat Manab singgah. Di pesantren ini, ternyata dia tidak sekedar singgah dan malah sempat nyantri selama 5 tahun. Meskipun usia Manab ketika itu sudah mendekati setengah abad, toh dia belum juga melepas masa lajang. Tanpa diduga-duga, datang seorang kiai dari Pare kepada kiai Hasyim yang ingin mengambil menantu Manab. Tetapi, kiai Hasyim diam-diam menolak lamaran itu, karena ingin menjodohkannya dengan salah seorang putri kerabatnya, putri KH. Sholeh dari Banjarmlati, Kediri. Kiai Manab yang saat itu berusia 50 tahun akhirnya menikah dengan Khadijah yang berusia 15 tahun. Walau sudah menikah, Manab toh masih nyantri juga di Tebuireng. Setengah tahun kemudian, karena sebagai suami, dia akhirnya bermukim di Banjarmlati mendampingi sang istri. Satu tahun kemudian, lahir seorang putri pertama, Hannah (1909) dan Manab masih belum memiliki rumah. Akhirnya, KH. Sholeh berkeinginan membeli tanah di Lirboyo dan memberikannya kepada Manab. Pembelian itu tidak menemui masalah, sebab Lirboyo dikenal sarang dari keonaran sehingga lurah Lirboyo yang tak mampu lagi menentramkannya memohon bantuan KH Sholeh untuk menempatkan menantunya agar masyarakatnya yang kering akan siraman rohani bisa sadar. Akhirnya, kiai Manab pun menetap di Lirboyo. Dari situ, kiai Manab boleh dikatakan merintis dari awal. Bahkan, di awal-awal kiai Manab menetap di Lirboyo tidak jarang kena terror. Tujuannya agar kiai Manab tak betah. Tapi dengan ketabahan, kiai Manab justru berhasil menyadarkan penduduk. Lalu, kiai Manab memulai membangun sarana peribadatan, musholla yang 3 tahun kemudian disempurnakan menjadi masjid tahun 1913. Dengan keberadaan masjid itu keberhasilan dakwah kiai Manab kian nampak. Masjid itu tidak sekedar hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai sarana pendidikan dan pengajian. Dari situ, banyak masyarakat yang kemudian berguru, malahan ada seorang santri yang datang dari Madiun, bernama Umar. Santri pertama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal keluarga besar pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh kiai Manab. Dengan Sedekah Pergi ke Mekkah Dengan tekun, rajin dan tabah, kiai Manab mengembangkan pesantren. Dalam satu dasawarsa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin bertambah, datang dari berbagai penjuru. Untuk itu, ia kemudian merelakan sebagian tanahnya untuk dihuni santri. Begitulah sifat kiai Manab, seorang pemimpin sejati yang mendahulukan kepentingan orang di atas kepentingan pibadi. Tapi belum sempurna jika kiai Manab belum menunaikan rukun Islam kelima. Itulah yang masih mengganjal dalam benaknya. Karena itu, setelah kebutuhan santri dipenuhi, dia berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Awalnya, dia mau menjual tanah untuk biaya haji, tapi sebelum tanah itu terjual, kabar keberangkatan ternyata sudah tersiar. Dari kabar itulah, banyak penduduk yang ingin mengucapkan selamat dan memberikan tambahan bekal. Anehnya, dari uang pemberian itu terkumpul uang banyak dan sudah bisa digunakan pergi haji dengan tanpa harus menjual tanah. Akhirnya, kiai Manab pun bengkat ke tanah suci dan sepulang dari tanah suci itu, kiai Manab mengganti namanya menjadi Kiai Haji Abdul Karim. Ada satu sisi kehidupan KH. Abdul Karim yang patut diteladani, yakni suka riyadhah, mengolah jiwa (tirakat). Kebiasaan ini tak pernah ditinggalkan, sejak menuntut ilmu sampai berkeluarga dan menjadi kiai pemangku pesantren. Selain itu, sering menghidupkan shalat malam. Jarang tidur, toh jika tidur cuma sebentar. Iia habiskan malam dengan dzikir, munajat kepada Allah, membaca al-Qur`an dan menelaah kitab. Kebiasaan ini tak asing di mata santri. Kiai ini juga dikenal lembut. Terbukti ketika menyadarkan santri, kiai memilih jalan menasehatinya dengan tindakan dan kadang-kadang dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dinding pesantren. Pendek kata, kiai memilih jalan menasehati tanpa ada unsur pemaksaan. Apalagi, sampai dengan cara melukai hati. Tapi, hal yang sungguh luar biasa adalah bentuk tawakkal yang dipegang teguh oleh KH Abdul Karim. Pernah Belanda menyerbu ke pesantren tapi ia tetap diam dan tak gentar sedikitpun. Meski demikian, di masa penjajahan Belanda, kiai tak lantas berpangku tangan. Bahkan pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), ia bersama para ulama sempat dipanggil ke Jakarta. Tujuan Jepang saat itu adalah untuk membentuk Shumubu, Jawatan Agama Pusat yang kemudian diketuai oleh KH. Hasyim Asy`ari dan Shumubu (JA Daerah). Kiai yang lahir di Magelang ini juga ikut menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah. Di samping itu, ia mengirimkan para santrinya untuk ikut bertempur di Medan laga, dua kali ke Surabaya dengan jumlah santri mencapai 97 dan 74 orang, dan sekali ke Sidoarjo dengan jumlah pasukan 309 santri. Juga sempat terlibat dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri. Jadi, sang kiai terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini. Masa-masa Akhir Sekitar tahun 50-an, usia sang kiai sudah mendekati satu abab. Tetapi, usia itu tidak menghalangi niatnya untuk menunaikan ibadah haji, menyertai ibu nyai. Tahun 1952, berkat bantuan biaya dari haji Khozin, seorang dermawan asal Madiun yang waktu itu juga hendak menunaikan ibadah haji, kiai ingin menunaikan ibadah haji kembali. Tetapi tatkala tiba di Surabaya, kondisinya tampak payah, sehingga tim dokter meragukan kesehatan kiai untuk dapat menunaikan ibadah haji. Tapi, karena niat itu sudah bulat, maka kiai melakukan berbagai cara. Atas bantuan KH. Wahid Hasyim akhirnya ia bisa berangkat dari Jakarta. Seusai ibadah haji kedua, KH Abdul Karim mulai menunjukkan tanda kurang sehat. Beberapa waktu, sempat sakit-sakitan. Akan tetapi yang cukup menyedihkan adalah kesehatan itu kian turun drastis sehingga saraf sebelah kaki tak lagi berfungsi, mengakibatkan ia lumpuh. Sebenarnya kelumpuhan itu sempat diderita cukup lama, hampir satu setengah tahun. Sampai akhirnya saat memasuki bulan Ramdhan 1374, seminggu kemudian sakit KH. Abdul Karim semakin kritis, sehingga tidak mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam jama`ah dalam shalat. Tepat, pada hari senin ketiga di bulan suci Ramadhan tahun itu, atau tepatnya tanggal 21 Ramdhan 1374 H, sekitar pukul 13.30 KH. Abdul Karim dipanggil Yang Kuasa. Suasana sedih tentu melingkari keluarga pesantren Lirboyo. Sebab, pendiri pesantren yang selama itu diagungkan telah tiada. Pada sisi yang lain, juga meninggalkan jejak bangunan pesantren yang perlu untuk diteruskan. Itulah kisah panjang dan perjuangan pendiri sejati, yang telah memulai segala sesuatu dari nol hingga mampu meletakkan tonggak sejarah pesantren Lirboyo dengan melahirkan nasab yang sekarang meneruskan estafet perjuangan dalam menambah deretan pesantren di tanah air ini. Semoga kita bisa meneladani kehidupan dan perjuangan yang telah ditanamkan dalam memberikan sumbangan kepada santri
0 komentar
Posting Komentar