Ranggawarsita adaah salah satu puangga asal pulau Jawa yang paling
terkenal, sosok dan karya-karyanya menjadi perhatian dunia, namun sayang
banyak anak negeri yang lupa akan sang pujangga dan lebih mengaggumi
pujangga negeri orang, oleh karenanya sejenak mari kita menyelami sang
pujangga, dan semoga kita dapat melihat kilauan mutiara dari dalam hati
sang pujangga. Raden Ngabehi Ranggawarsita terlahir dengan nama Bagus
Burhan. DI lahirkan pada hari senin legi, 10 Dulkaidah, Be 1728, sekitar
pukul 12.00, wuku sungsang, atau 15 Maret 1802. Di kampung Yasadipuran
Suryakarta. Oleh ayahnya R.T. Sastranegara setelah berusia 4 tahun Bagus
Burhan diserahkan kepada Ki Tanujaya untuk di didik, Ki Tanujaya
merupakan abdi kepercayaan R.T Sastranegara yang jujur, luwes dan banyak
ilmunya. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya hingga berusia 12 tahun,
kemudian Bagus Burhan mulai berguru ilmu agama kepada Kanjeng Kyai Imam
Besari di Pondok pesantren Gerbang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo. Kanjeng
Kyai Imam Besari adalah merupakan menantu Paku Buwana IV dan teman
seperguruan R.T Sastranegera. Bagus Burhan sangat malas belajar ilmu
agama, bahkan lebih senang berjudi. Kenakalannya ini membawa pengaruh
buruk bagi santri pesantren lainnya, kemudian Kanjeng Kyai Imam Besari
memarahi Bagus Burhan, rupanya Murka sang guru ini membuat mata batin
Bagus Terbuka, dan mulai belajar dengan kesadaran. Bagus menjadi salah
satu murid yang terpintar, selain pintar Bagus Juga rajin dalam
menjalankan ritual dan latihan-latihan yang diberikan di pesantren.
Bagus juga kemudian mulai aktif menjadi pengurus pesantren, dan mulai
membantu dalam memberikan pelajaran dipesantren. Setelah beberapa tahun
mondok diPesantren dan dirasa sudah cukup pengetahuan dan ilmunya
tentang agama, kemudian Bagus Burhan kembali pulang ke Surakarta. Di
Surakarta Bagus diasuh langsung oleh kakeknya, R.T Sastraningrat,
kakenya ini meramalkan Bagus akan menjadi Pujangga Penutup di Tanah
Jawa. Yang artinya adalah apa yang mesti dikatakan sudah dikatakan oleh
Raden Ranggawarsita dan tidak ada yang baru lagi yang mesti dikatakan,
namun interpretasinya tetap harus diperbaharui dari waktu ke waktu
terlebih lagi pulau jawa akan memasuki jaman suram (kolo bedu, kala
yuga), di perlukan interpretasi terus menerus untuk tetap dapat
menghidupkan ruh Raden Ranggawarsita sebagai penjaga mandala pulau jawa.
Beberapa tahun kemudian Bagus Muda kembali melakukan pengembaraannya,
saat itu dia diserahkan kepada Panembahan Buminata, untuk mempelajari
ilmu jaya kawijayan, dan olah fisik. Setelah tamat berguru, Bagus yang
mulai dewasa di panggil oleh Sri Paduka Paku Buwana IV dan diangkat
sebagai pegawai istana. Tanggal 28 Oktober 1818 Bagus diangkat menjadi
pegawai Kraton dengan jabatan Carik Kliwon di Kadipaten Anom, dengan
gelar Rangga Pujangga Anom, atau lajimnya disebut dengan Rangga
Panjanganom. Semacam gelar bagi seorang pujangga muda. Kemudian sekitar
tahun 1749 jawa, Bagus diangkat menjadi Matri Carik Kadipaten Anom
dengan nama Mas Ngabehi Sarataka, waktu itu usia Bagus sekitar 20 tahun.
Kemudan Bagus di nikahkan dengan Raden Ajeng Gombak, putra Bupati
Kediri, yatu Kanjeng Raden Adipati Cakraningrat. Perkawinan di
langsungkan di Buminata, Surakarta. Meski sudah berkeluarga dan juga
memiliki jabatan, Mas Ngabehi tidak berhenti menuntut ilmu,
pengembaraannya terus berjalan, Di Surabaya Mas Ngabehi berguru dengan
Ajar Kyai Wirakantha. Setelah tamat dia meneruskan pengembaraannya ke
Tabanan, Bali, berguru dengan Ajar Kyai Sidalaku di Desa Pancak. Dari
desa pancake, Tabanan, kemudian Mas Ngabehi kembali ke Kediri tentu saja
dengan membawa Ilmu dan pengetahuan. Karena Ilmu pengetahuan yang
semakin tinggi maka setelah kembali ke Surakarta, Mas Ngabehi Sarataka
di naikan pangkatnya menjadi Abdi Dalem Penewu Sedasa, sekitar tahun
1754 jawa, pada waktu itu tengah berkecamuk perang Diponegoro. Usia Mas
Ngabehi memasuki 23 tahun, namun sudah terlihat keahliannya dalam
kesastraan jawa dan pancaran cahaya kebatinannya. Tulisan-tululisannya
mulai mendapati perhatian dari abdi dalem lainnya. Bahkan Sunan sendiri
yang sempat membaca karya-karya Mas Ngabehi menyarankan kepada abdi
dalem lainnya agar belajara dari Mas Ngabehi tentang tata bahasa dan
gaya kepenulisan. Dan kemudian Mas Ngabehi dianugrahi julukan cengkok
ata corak kadipaten, cirinya kadipaten. Atas inisiatipnya sendiri Mas
Ngabehi yang menjabat sebagai Carik Kadipaten Anom mulai mengumpulkan
pepali raja-raja terdahulu, dan melalui data-data itu ia mulai
menuliskan sejarah dan kemudian di jadikan naskah. Selain itu mas
Ngabehi yang sudah menginjak usia 25 tahun mulai menuliskan pengetahuan
dan ilmunya yang di dapat dari pengalaman pribadinya, buku pertamanya
adalah buku tentang tatacara bersopan santun. Pada hari senin wage, 22
Besar, Jimawal 1757, K.G.P.H Purubaya, putra Paku Buwana IV dari
permaisuri Kanjeng Ratu Kencana naik tahtah menggantikan Pakubuwana VI
dengan gelar Paku Buwana VII. Pada tahun itu pulalah Mas Ngabehi
Sarataka dinaikan pangkatnya menjadi Panewu carik Kadipaten Anom dengan
nama Raden Ngabehi Ranggawarsita pada usia yang ke 30 tahun.
Kemampuannya akan Kesusastraan dan pendalaman akan kebatinan kian
Nampak, Arti Nama Ranggawarsita adalah sebagai seorang petuah, seorang
pujangga yang memiliki petuah. Nama itu juga sebagai penegasan sosoknya
sebagai seorang guru, baik sebagai guru kesusastraan jawa dan juga
sebagai guru kebatinan. Siswanya banyak dating dari kalangan ningrat dan
juga Belanda. “Ketahuilah sebelum segalanya terjadi, Hanya terdapat
ruang, Yang kosong hampa, Tak ada sesuatu kecuali Tuhan, Tak seorang pun
tahu, Akan keberadaannya. Tak ada yang mengetahui, Sukmanya dalam
gedung, Hanya Dia yang mengetahui sendiri, Segera tahu akan kehendak
makhluk , Sebelum mengetahui, Sudah menguasai Maka menjadikan segalanya,
Karena akan dilihat, Sudah nyata jagad sejati, Dari sabda sekali jadi,
Tak pernah luput Dari sabda itu KARYA-KARYA RANGGA WARSITO Kupasan Karya
Ronggo Warsito post info By Anwar Ibrahim Categories: Analisis, Anwar,
Hebahan, Pendidikan and Seni & Sastera 5 Comments Dalam tazkirah
selesai qiyamullail dan solat Subuh pagi tadi saya turut menyentuh karya
Muhammad Hamidullah yang berjudul ““Why Fast?: Spiritual & Temporal
Study of Fast in Islam”, juga sanggahan orientalis Vincent Monteil dan
dirumuskan dengan puisi Zaman Edan olih Ronggo Warsito. Respon di bawah
ini saya terima dari seorang teman dan menarik untuk direnungi: ———-
Ingin melewati karya agong Ronggo Warsito, ada pun Jawa itu dikenali
dari segi bahasa dan tulisan berbeda amat di Semanjung Malaysia, malah
keturunan saya belum terusik dengan sebarang keturunan lain dari
jemputan darah Nusantara dari kebanyakan orang disini. Masih unggul
darah Jawa mengalir. Sayang Jawa dititip hingga ke bibir ini tinggalnya
cuma bahasa “kasar”, sudah ketabrakan Jawa Halus kiriman Karya Agong
Ronggo Warsito. Pembahasaan dalam Pujangga Ronggo Warsito dikirim lewat
bahasa alus, panganan wong nang Keraton. Ngak sama pembahasaan yang ada
di sebelah sini. Berbeda sekali. Selintas carian dari Wak Google
terlopong ini… Pembukaan: Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi Melu
edan nora tahan yen tan melu anglakoni boya kaduman melik Kaliren
wekasanipun Dilalah karsa Allah Begja-begjane kang lali luwih begja kang
eling lawan waspada (pupuh 7, Sent Kalatidha) —– Terjemahan: Mengalami
jaman gila sukar sulit (dalam) akal ikhtiar Turut gila tidak tahan kalau
tak turut menjalaninya tidak kebagian milik kelaparanlah akhirnya
Takdir kehendak Allah sebahagia-bahagianya yang lupa lebih berbahagia
yang sadar serta waspada —– – Syair jaman edan, di mana manusia
kehilangan dasar sikap dan perilaku yang benar. – Di dalam Serat
Kalatidha, Sabda Pranawa Jati Ki pujangga melihat kesusahan yang terjadi
pada jaman itu… Rajanya utama, patihnya pandai dan menteri-menterinya
mencita-citakan kesejahteraan rakyat serta semua pegawai-pegawainya
cakap. Akan tetapi banyak kesukaran-kesukaran menimpa negeri; orang
bingung, resah dan sedih pilu, serta dipenuhi rasa kuatir dan takut.
Banyak orang pandai dan berbudi luhur jatuh dari kedudukannya. Banyak
pula yang sengaja menempuh jalan salah . . . harga diri turun . . .
akhlak merosot. Pada waktu-waktu seperti itu berbahagialah mereka yang
sadar/ingat dan waspada. – Menghadapi jaman seperti itu Ki Ronggowarsito
memberikan petuah-petuahnya, yaitu yang dapat disebut sebagai empat
pedoman hidup. —– I. Tawakal marang Hyang Gusti – Pedoman yang pertama;
yaitu kepercayaan iman dan pengharapan kepada Tuhan. – Pedoman inilah
yang menjadi dasar hidup, perilaku dan karya manusia. 1. “Mupus
papasthening takdir, puluh-puluh anglakoni kaelokan” (pupuh 6,
Kalatidha). Arti : Menyadari ketentuan takdir, apa boleh buat (harus)
mengalami keajaiban. Manusia hidup harus menerima keputusan Tuhan. 2.
“Dialah karsa Allah, begja-begjane kang lali, luwih becik eling lawan
waspada” (pupuh 7, Kalatidha) Arti : – Memanglah kehendak Allah,
sebahagia-babagianya yang lupa, lebih bahagia yang sadar ingat dan
waspada. – Manusia harus selalu menggantungkan diri kepada kehendak
(karsa) Allah. – Karsa atau kehendak Allah itu seperti yang tersirat
dalam ajaran agama, kitab suci, hukum-hukum alam, adat istiadat dan
ajaran leluhur. 3. Muhung mahasing ngasepi, supaya antuk parimirmaning
Hyang suksma. (pupuh 8, Kalatidha) Arti: Sebaiknya hanya menjauhkan diri
dari keduniawian, supaya mendapat kasih sayang Tuhan. – Di kala ingin
mendekatkan jiwa pada Tuhan, memang pikiran dan nafsu harus terlepas
dari hal keduniawian. – Supayantuk: Supaya dilimpahi Parimirmaning Hyang
suksma; Kasih sayang Tuhan. 4. Saking mangunah prapti, Pangeran paring
pitulung. (pupuh 9, Kalatidha) Arti : Pertolongan datang dari Tuhan,
Tuhan melimpahkan pertolongan. – Hanya Dia, Puji sekalian alam, Gembala
yang baik, yang dapat menolong manusia dalam kesusahannya. – Mangunah :
Pertolongan Tuhan Prapti : Datang. 5. Kanthi awas lawan eling, kang
kaesthi antuka parmaning suksma. (pupuh 10, Kalatidha) Arti: Disertai
dasar/awas dan ingat, bertujuan mendapatkan kasih sayang Tuhan. 6. Ya
Allah ya Rasululah kang sifat murah lan asih. (pupuh 11, Kalatidha) Arti
: Ya Allah ya nabi yang pemurah dan pengasih. 7. Badharing sapudendha,
antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya. (pupuh 12,
Kalatidha) Arti (Untuk) urungnya siksaan (Tuhan), mendapat keringanan
sekedarnya, (sang pujangga) berserah diri (memohon) sorga berisi
kelanggengan. – Pengakuan kepercayaan bahwa pada Tuhanlah letak
kesalamatan manusia. Pupuh-pupuh tambahan: 8. Setyakenang naya atoh
pati, yeka palayaraning atapa, gunung wesi wasitane tan kedap ing pan
dulu ning dumadi dadining bumi, akasa mwang; riya sasania paptanipun,
jatining purba wisesa, tan ana lara pati kalawan urip, uripe tansah
tungga”. (pupuh 88, Nitisruti) Arti: Bersumpahlah diri dengan niat
memakai tuntunan (akan) mempertaruhkan nyawa, yaitulah laku orang
bertapa di (atas) gunung besi (peperangan) menurut bunyi petuah. Tak
akan salah pandangannya terhadap segala makhluk dan terjadinya bumi dan
langit serta segala isinya. Sekaliannya itu sifat Tuhan; tak ada mati,
hiduppun tiada, hidupnya sudah satu dengan yang Maha suci. – Karya
sastra Nitisruti ditulis oleh Pangeran di Karangayam (Pajang), pada
tahun saka atau 1591 M. – Mengenai tekad untuk mengenal Tuhan dan
rahasiaNya. – Mengenal kekuasaan di balik ciptaan-Nya, karena sudah
bersatu dengan Gusti-Nya. 9. Sinaranan mesu budya, dadya sarananing
urip, ambengkas harda rubeda, binudi kalayan titi, sumingkir panggawe
dudu, dimene katarbuka, kakenan gaibing widi. (Dari serat Pranawajati)
Arti: Syaratnya ialah memusatkan jiwa, itulah jalannya di dalam hidup,
menindas angkara yang mengganggu, diusahakan dengan teliti,
tersingkirkanlah perbuatan salah, supaya terbukalah mengetahui rahasia
Tuhan. – Serat Pranawajati ditulis oleh Ki R.anggawarsita – Pupuh ini
menjelaskan jalan kebatinan untuk mencapai (rahasia) Tuhan. 10.
Pamanggone aneng pangesthi rahayu, angayomi ing tyas wening, heninging
ati kang suwung, nanging sejatine isi, isine cipta kang yektos”. (Dari
serat Sabda Jati) Arti: Tempatnya ialah di dalam cita-cita sejahtera,
meliputi hati yang terang, hati yang suci kosong, tapi sesungguhnya
berisi, isinya cipta sejati. 11. Demikianlah orang yang dikasihi Tuhan,
yang selalu mencari-Nya untuk memuaskan dahaga batin. Ia akan berbahagia
dan merasa tentram sejahtera; sadar akan arti hidup maupun tujuan hidup
manusia. Pembawaannya rela, jujur dan sabar; pasrah, sumarah lan
nanima, berbudi luhur dan teguh dihati. —– II. Eling lawan Waspada –
Pedoman yang kedua; yaitu sikap hidup yang selalu sadar-ingat dan
waspada. – Pedoman inilah yang menjaga manusia hingga tidak terjerumus
ke dalam lembah kehinaan dan malapetaka. Pupuh-pupuh : 1. Dilalah karsa
Allah, begja-begjane kang lali luwih becik kang eling lawan waspada.
(Pupuh 1, Kalatidha) Arti : Takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya
yang lupa, lebih bahagia yang sadar / ingat dan waspada. 2. Yen kang
uning marang sejatining kawruh, kewuhan sajroning ati, yen tan niru nora
arus, uripe kaesi-esi, yen niruwa dadi asor. (Pupuh 8, Sabda Jati)
Arti: Bagi yang tidak mengetahui ilmu sejati bimbanglah di dalam
hatinya, kalau tidak meniru (perbuatan salah) tidak pantas, hidupnya
diejek-ejek, kalau meniru (hidupnya} menjadi rendah. 3. Nora ngandel
marang gaibing Hyang Agung, anggelar sekalir-kalir, kalamun temen
tinemu, kabegjane anekani, kamurahaning Hyang Monon”. (Pupuh 9, Sabda
Jati) Arti : Tidak percaya kepada gaib Tuhan, yang membentangkan seluruh
alam, kalau benar-benar usahanya, mestilah tercapai cita-citanya,
kebabagiaannya datang, itulah kemurahan Tuhan. – Serat Sabda Jati adalah
juga ditulis oleh pujangga Ki Ranggawarsita. – Pupuh 8 membicarakan
keragu-raguan hati karena melihat banyak orang menganggap perbuatan
salah sebagai sesuatu yang wajar. – Akan tetapi bagi yang sadar/ingat
dan waspada, tuntunan Tuhan akan datang membawa kebahagiaan batin. 4.
Mangka kanthining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning
alam, dadi wiryaning dumadi, supadi nir ing Sangsaya, yeku pangreksaning
urip. (Pupuh 83, Wedhatama) Arti : Untuk kawan hidup, selamanya
hanyalah awas dan ingat ingat akan sasmita alam, menjadi selamatlah
hidupnya, supaya bebas dari kesukaran, itulah yang menjaga kesejahteraan
hidup. 5. Dene awas tegesipun, weruh warananing urip, miwah wisesaning
Tunggal, kang atunggil rina wengi, kang makitun ing sakarsa, gumelar
ngalam sekalir. (Pupuh 86, Wedhatama) Arti : Adapun awas artinya, tahu
akan tabir di dalam hidup, dan kekuasaan Hyang Maha Tunggal, yang
bersatu dengan dirinya siang malam, yang meliputi segala kehendak,
disegenap alam seluruhnya. – Wedhatama ditulis oleh Pangeran
Mangkunegara IV. 6. Demikianlah sikap hidup yang berdasarkan “Eling
lawan waspada”; yaitu selalu mengingat kehendak Tuhan sehingga tetap
waspada dalam berbuat; untuk tidak mendatangkan celaka. Kehendak Tuhan
mendapat dicari/ditemukan di dalam hukum alam, wahyu jatmika yang
tertulis dalam kitab suci maupun karya sastra, adat-istiadat, nasehat
leluhur/orang tua dan cita-cita masyarakat. 7. Eling” juga berarti
selalu mengingat perbuatan yang telah dilakukan, baik maupun buruk, agar
“waspada” dalam berbuat. Berkat sikap “eling lawan waspada” ini,
terasalah ada kepastian dalam langkah-langkah hidup. —– III. Rame ing
gawe. – Pedoman hidup yang ketiga, yaitu hidup manusia yang dihiasi
daya-upaya dan kerja keras. – Menggantungkan diri pada wasesa dan karsa
Hyang Gusti adalah sama dengan menerima takdir. Karena siapakah yang
dapat meriolak kehendak Nya? 1. Ada tertulis: Tidak ada sahabat yang
melebihi (ilmu) pengetahuan Tidak ada musuh yang berbahaya dan pada
nafsu jahat dalam hati sendiri Tidak ada cinta melebihi cinta orang tua
kepada anak-anaknya Tidak ada kekuatan yang menyamai nasib, karena
kekuatan nasib tidak tertahan oleh siapapun”. (Ayat 5, Bagian II Kitab
Nitiyastra). 2. Tetapi apakah kekuatiran atau ketakutan akan nasib
menjadi akhir dan pada usaha atau daya upaya manusia? Berhentikah
manusia berupaya apabila kegagalan menghampiri kerjanya? 3. …. Karana
riwayat muni, ikhtiar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budi daya,
kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning suksma. (Pupuh
10, Kalatidha) Arti : …. Karena cerita orang tua mengatakan, ikhtiar itu
sungguh-sungguh, pemilih jalan keselamatan, sambil berdaya upaya
disertai awas dan ingat, yang dimaksudkan mendapat kasih sayang Tuhan. –
Menerima takdir sebagai keputusan terakhir, tidak berarti
mengesampingkan ikhtiar sebagai permulaan daripada usaha. 4. Kuneng
lingnya Ramadayapati, angandika Sri Rama Wijaya, heh bebakal sira kiye,
gampang kalawan ewuh, apan aria ingkang akardi, yen waniya ing gampang,
wediya ing kewuh, sabarang nora tumeka, yen antepen gampang ewuh dadi
siji, ing purwa nora ana. (Tembang Dandanggula, Serat Rama) Arti : Haria
sehabis haturnya Ramadayapati (Hanoman), bersabdalah Sri Rama : Hai,
kau itu dalam permulaan melakukan kewajiban, ada gampang dan ada sukar,
itu adalah (Tuhan) yang membuat. Kalau berani akan gampang; takut akan
yang sukar, segala sesuatu tidak akan tercapai. Bila kau perteguh
hatimu, gampang dan sukar menjadi satu, (itu) tidak ada, tidak dikenal
dalam permulaan (usaha). 5. Demikianlah, takdir yang akan datang kelak
tidak seharusnya menghentikan usaha manusia. Niat yang tidak baik adalah
niat “mencari yang mudah, menghindari yang sukar”. Semua kesukaran atau
tugas harus dihadapi dengan keteguhan hati. “Rame ing gawe” dan
“Rawe-rawe rantas malang-malang putung” adalah semangat usaha yang lahir
dari keteguhan hati itu. Catatan: Pupuh ke empat adalah cuplikan dari
serat Rama, yang ditulis oleh Ki Yosadipura. (1729 – 1801 M) —– IV.
Mawasdiri: – Pedoman hidup yang keempat, yaitu perihal mempelajari
pribadi dan jiwa sendiri; yang merupakan tugas semua mamusia hidup.
Pupuh-pupuh: 1. Wis tua arep apa, muhung mahasing ngasepi, supayantuk
parimirmaning Hyang Suksma. (Pupuh 8, Kalatidha) Arti : Sudah tim mau
apa, sebaiknya hanya menjauhkan diri dari keduniawian, supaya
mendapat/kasih sayang Tuhan. – Nasehat agar tingkat orang yang telah
berumur menunjukkan martabat. 2. Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba
kembenganing pambudi, sanadyan ta tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti
sepi asepi lir sepah samun, samangsaning pakumpulan, gonyak-ganyuk
ngliling semi. (Pupuh 2, Pangkur, Wedhatama) Arti: Ajarannya termuat
dalam Wedhatama, agar supaya tak kendor hasrat usahanya memberi nasehat,
(sebab) meskipun sudah tua bangka, kalau tak ketahuan kebatinan,
tentulah sepi hambar bagaikan tak berjiwa, pada waktu di dalam
pergaulan, kurang adat memalukan. 3. …. Pangeran Mangkubumi ing
pambekanipun. Kang tinulad lan tinuri-luri, lahir prapteng batos, kadi
nguni ing lelampahane, eyang tuwan kan jeng senopati, karem mawas diri,
mrih sampurneng kawruh.Kawruh marang wekasing dumadi, dadining lalakon,
datan samar purwa wasanane, saking dahat waskitaning galih, yeku ing
ngaurip, ran manungsa punjul. (Dari babad Giyanti) Arti : ….Pangeran
Mangkubumi budi pekertinya. Yang ditiru dan dijunjung tinggi, lahir
sampai batin, seperti dahulu sejarahnya, nenek tuan kanjeng senopati
gemar mawas diri untuk kesempumaan ilmunya. Ilmu tentang kesudahan
hidup, jadinya lelakon, tidak ragu akan asal dan kesudahannya (hidup),
karena amat waspada di dalam hatinya, itulah hidup, disebut manusia
lebih (dari sesamanya). – Babad Giyanti ditulis oleh pujangga Yasadipura
I. Isinya memberi contoh tentang seseorang yang selalu mawas diri,
yaitu Panembahan Senopati. 4. Mawas diri adalah usaha meneropong diri
sendiri dan dengan penuh keberanian mengubah pribadinya. Maka inilah
asal dan akhir dari pada keteguhan lahir dan batin. 5. Laku lahir lawan
batin, yen sampun gumolong, janma guna utama arane, dene sampun amengku
mengkoni, kang cinipta dadi, kang sinedya rawuh”. (Dari babad Giyanti)
Arti : Amalan lahir dan batin, bilamana sudah bersatu dalam dirinya,
yang demikian itu disebut manusia pandai dan utama, karena ia sudah
menguasai dan meliputi, maka yang dimaksudkan tercapai, yang
dicita-citakan terkabul. 6. Nadyan silih prang ngideri bumi, mungsuhira
ewon, lamun angger mantep ing idhepe, pasrah kumandel marang Hyang Widi,
gaman samya ngisis, dadya teguh timbul).” (Tembung Mijil, Dari babad
Giyanti) Arti : Meski sekalipun perang mengitari jagad, musuhnya ribuan,
tetapi asal anda tetap di dalam hati, berserah diri percaya kepada
Tuhan, semua senjata tersingkirkan, menjadi teguh kebal. 7. Demikianlah
ajaran Ki Ranggawarsita, yaitu mengenai empat pedoman hidup. Begitulah
orang yang menggantungkan dirinya kepada kekuasaan Tuhan dan menerima
tuntunan-Nya. Ia akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri, tetapi
tanpa disertai kesombongan maupun keangkaraan. Cita-cita kemasyarakatan.
—– 1. Ki pujangga Ranggawarsito mencita-citakan pula datangnya jaman
Kalasuba, yaitu jaman pemerintahan Ratu Adil Herucakra. Karena itu
beliau merupakan seorang penyambung lidah rakyatnya, yang menciptakan
masyarakat “panjang punjung tata karta raharja” …. “gemah ripah loh
jinawi” ….loh subur kang sarwa tinandur” dimana “wong cilik bakal
gumuyu. 2. Tiga hal yang pantas diperjuangkan, untuk menegakkan
pemerintahan Ratu Adil; yaitu: Bila semua meninggalkan perbuatan buruk,
bila ada persatuan dan bila hadir pemimpin-pemimpin negara yang tidak
tercela lahir batinnya. 3. Dengarlah! 4. Ninggal marang pakarti tan
yukti, teteg tata ngastuti parentah, tansah saregep ing gawe, ngandhap
lan luhur jumbuh, oaya ana cengil-cengil, tut runtut golong karsa,
sakehing tumuwuh, wantune wus katarbuka, tyase wong sapraya kabeh mung
haryanti, titi mring reh utama. (Dari Serat Sabdapranawa) Arti :
Meninggalkan perbuatan buruk, tetap teratur tunduk perintah, selalu
rajin bekerja, bawahan dan atasan cocok-sesuai tak ada persengketaan,
seia sekata bersatu kemauan, dari segala makhluk, sebab telah
terbukalah, tujuan orang seluruh negara hanyalah kesejahteraan, faham
akan arti ulah keutamaan. 5. Ngarataning mring saidenging bumi, kehing
para manggalaningpraya, nora kewuhan nundukake, pakarti agal lembut,
pulih kadi duk jaman nguni, tyase wong sanagara, teteg teguh, tanggon
sabarang sinedya, datan pisan nguciwa ing lahir batin, kang kesthi mung
reh tama. (Tembang Dandanggula, Serat Sabdapranawa) Arti: Merata
keseluruh dunia; sebanyak-banyak pemimpin negara tak kesukaran
menjalankan perbuatan kasar-halus; kembalilah seperti dahulu kala,
tujuan orang seluruh negara, tetap berani sungguh, boleh dipercaya
segala maksudnya, tak sekali-kali tercela lahir batinnya, yang dituju
hanyalah selamat sejahtera. 6. Demikianlah yang dicita-citakan pujangga
agung Ranggawarsita. ———- ANWAR IBRAHIM 5 Responses to “Kupasan Karya
Ronggo Warsito” Feed for this Entry Trackback Address View blog
reactions 1. 1 Shatter Sep 17th, 2009 at 5:12 pm Jika “ora edan, ora
keduman” dari Jawa, jika dimelayukan “tidak gila, tidak dapat bahagian”,
1)ada orang yang benar-benar tak sadar telah edan sehingga kebagian
2)ada orang yang benar-benar edan dan tak mendapat bagian 3)ada orang
yang berpura-pura edan sehingga mendapat bagian 4)ada orang yang tidak
edan yang hanya mengelus dada karena tak kebagian 5)ada orang yang tak
edan yang benar-benar tulus ikhlas tak mendapat bagian 6)ada orang yang
pura-pura edan sehingga mendapat bagian lalu membagi-bagikan bagian
kepada yang tak edan 7)ada orang yang membagi-bagi keedanan 8)ada orang
yang mengajarkan ketidakedanan Ronggowarsito – pernah menggambarkan
keadaan zaman seperti itu di mana banyak orang yang semula baik namun
karena tidak tahan kemudian berubah menjadi tidak baik dengan menerapkan
prinsip hidup “ora edan ora keduman’ yang berarti kalau tidak gila
tidak mendapat bahagian. Dengan prinsip itu mereka berlomba-lomba
merebut kekuasaan, meraih populariti, mengumpul harta, dan meraih
keduniawian lainnya dengan cara yang tidak santun dan bijaksana. Zaman
yang disebut edan ini membuat manusia yang berada di dalamnya menjadi
gerah, timbul kegoncangan, timbul kerisauan kerana semuanya mengarah
kepada kerosakan. Dan memang benar akhirnya timbul kejadian yang antara
lain berupa bencana yang dahsyat, reformasi atau bahkan revolusi yang
sering mengakibatkan banyak nyawa melayang. Pernyataan Ronggowarsito –
yang masih terkenal – tersebut adalah : “Awenangi jaman edan, ewuh aya
sing pambudi. Melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman
melik, kakiren wekasan nipun. Dilala kersa Allah, begja begjane kang
lali, luwih begja kang eling lawan waspada”, yang bermaksud; “ Hidup di
zaman edan, serba salah. Turut gila tidak tahan, tidak turut gila, tidak
bahagia, akhirnya kelaparan, Namun Tuhan telah berpesan,
seuntung-untungnya orang lupa masih untung yang sedar dan waspada”.
Reply 2. 2 sure Sep 17th, 2009 at 5:58 pm makan panadol jap Reply 3. 3
zik Sep 17th, 2009 at 11:12 pm Pakatan must do more to convince rural
Malays The Pakatan Rakyat coalition parties must target the urban
especially the rural Malay population in the country if they want to
rule the nation during the next general election.Parti Sosialis Malaysia
(PSM) committee member and Sungai Siput MP Dr D Jeyakumar said that
Pakatan cannot just depend on the Chinese and Indian voters who are in
the minority for their political survival. “Pakatan has to first address
the psychological fear of the Malay community that they will be
marginalised and treated as second class citizens if Pakatan takes
control of the nation,” Jeyakumar pointed out. “For the past 52 years,
Umno has whipped up this fear among the Malay community that they will
be overrun by the other races and only Umno and BN can safeguard their
interests and ensure their survival. Change the misconception and
mindset “We have to change this misconception that has been embedded in
the minds of the Malay community and change their mindset that all races
can equally share the country’s economic cake without infringing on
Malay rights,” he reasoned. “We have to make the difference and talk to
the rural Malay community that we are sincere and want to help them.
“The BN, especially under former premier Dr Mahathir Mohamad’s rule, has
ensured that neither the Chinese nor the Indians form the majority
racial composition in any constituencies in the country, at the nation’s
demarcation exercise,” He pointed out. He said the BN has the
propaganda machinery, manpower and control of all mainstream media to
continuously brainwash the rural Malay population that they are doomed
if the opposition takes control of the nation. Whereas, “Pakatan is at a
disadvantage in this area as it does not have access to these tools of
communication nor the manpower or the machinery and has to depend on the
new media, which incidentally is not accessible to the rural Malay
population”, he added. “We have to make a difference and enlighten the
rural Malay community that we are sincere in helping them better their
social and economic status in society. Segregation of races has worsen
“The segregation of races is worse now under Barisan Nasional’s 52
year-rule of the country and one cannot build unity among the various
races based on empty slogans alone like 1Malaysia,” he explained.
Jeyakumar said this in his speech at the Hari Malaysia forum themed
“Towards a United Malaysia” organised by PKR at a hotel here last night.
“The reality is that the various races are still divided under the
divide and rule policy practised by the British during their colonial
rule of Malaysia and this policy is still being used by BN to maintain
their political stranglehold on the nation”, he further added. Jeyakumar
was among five political figures who addressed the forum, attended by
about 600 people. The other speakers are ousted Pakatan Rakyat Menteri
Besar and PAS Bukit Gantang MP Mohammad Nizar Jamaluddin, Perak DAP
chief Ngeh Koo Ham, Perak PKR deputy chief Chang Lih Kang and Ampang MP
and PKR women’s wing chief Zuraida Kamaruddin. The moderator for the
three-hour forum was PKR Simpang Pulai assemblyperson Chan Ming Kai.
Zuraidah who was born and raised in Singapore stated that she
experienced the good quality of life and education in the island
republic for which she is now contributing back to the Malaysian
society. However, she claimed the same cannot be said of the rural
Malays in Malaysia who are economically disadvantaged by the BN
government. She alleged that the majority of Malays have been moved from
the mainstream of Malaysian life to rural areas like Felda by the BN
government to apparently give them a ‘better quality’ of life. “What
quality of life is BN talking about when they segregate the rural Malay
people who are doomed to spend the rest of their lives in such schemes
with no guarantees for the future of their children?” she asked. Not
given the opportunity to compete “They are not given the equal
opportunity to compete and develop like the other races and there is no
long term planning for their future. Even the land they are toiling on
now can be later taken back by the BN government,” she said. She cited a
recent example in the Iskandar project in the Johor economic
development corridor, where about 38 families who have toiled the land
for nearly 50 years, now face resettlement by the government to which
they are resisting. She also lambasted the BN government for taking away
all the income earned from the natural resources of Sabah and Sarawak
but giving nothing back in return. “As a result of this lopsided policy,
there are no infrastructures or development in these two states and
most Sabahans and Sarawakians are living in dire poverty,” she added. An
example she pointed out is the rape of the indigenous community Penan
girls by lorry drivers working on these logging sites. As there is no
proper mode of transportation for them, they have to hitch rides with
the lorry drivers and, in the process, get raped. She called upon the
true Malaysian spirit, the spirit of empowerment to take care of others,
of improving the livelihood of suffering fellow Malaysians
http://kotasepapan-pati.blogspot.com