SELASA. 27 MEI 2013
TAFSIR AYAT AYAT TENTANG IBADAH
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Dosen Pembimbing :
H.Asiqin Zuhdi,Lc,MPd.I
DISUSUN OLEH :
Abdul Karim elpati
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SILABUS MATA
KULIAH TAFSIR
BAB I
PENDAHULUAN
Ibadah adalah tindakan untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan tuhan
(Allah) dengan kata lain ibadah ialah suatu orientasi dari kehidupan dan
orientasi tersebut hanya tertuju kepada tuhan (Allah) saja.
Manusia diciptakan oleh tuhan dan hanya berorientasikan kepada penciptanya
yaitu (Allah), sang pencipta yang menumbuhkan dan mengembangkan manusia, Dia
yang memelihara, menjaga dan mendidik manusia, Dia pula yang memberi petunjuk
kepada manusia, oleh karena itu hanya kepada Dia manusia menyembah
Terkait dengan masalah ibadah, terdapat beberapa golongan hamba Allah yang
sama-sama mengaku sebagai seorang hamba yang taat beribadah. Mereka memiliki
berbagai pengertian yang berbeda dalam memahami apa hakikat dari ibadah.
Diantaranya ada golongan yang berpendapat bahwa ibadah itu adalah sikap taat
dan ketertundukan seorang hamba kepada sang Kholiqnya dalam rangka Ta'abbud
kepada-Nya. Akan tetapi mereka kurang memperhatikan hal-hal kecil diluar itu
yang terkait dengan ibadah sosial, pergaulan ataupun sikap toleransi dalam
sitiap situasi.
Ada pula yang berpendapat bahwa dalam ibadah yang menjadi titik tekan adalah
bagaimana seorang hamba bersungguh-sungguh tatkala mengerjakan sesuatu, dan
sesuatu tersebut bernilai ibadah apabila ia tulus. Akan tetapi mereka acapkali
menyepelekan ibadah mahdhoh, seperti sholat, puasa dan lain-lain.
Kemudian golongan yang terakhir adalah golongan yang dapat menserasikan antara
golongan yang pertama dan kedua, mereka dapat mensinergikan antara ibadah
mahdhoh dan ibadah ghoiru mahdhoh.
Akhir-akhir ini marak para kaum yang mengkaji masalah tersebut dan memunculkan
kesimpulan yang aneh kedalam telingga kita, kemudian bagaimana sikap kita
sebagai seorang terpelajar menyikapinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Surah Ad-Dzariyat ayat 56
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku, (Qs. Ad-Dzariyat: 56)
Tafsir
surah
Ad-Dzariyat ayat 56
Maksud ayat
tersebut adalah Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menyuruh mereka
beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh kepada mereka. Ayat
tersebut dengan gamblang telah menjelaskan bahwa Allah Swt dengan menghidupkan
manusia di dunia ini agar mengabdi / beribadah kepada-Nya. Bukan sekedar untuk
hidup kemudian menghabiskan jatah umur lalu mati.
Ibadah terdiri dari ibadah murni
(mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah
yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat,
zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan
batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah
Berdasarkan
ayat tersebut, dengan mudah manusia bisa mendapat pencerahan bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk melaksanakan ibadah / menyembah kepada Allah Swt
dan tentu saja semua yang berlaku bagi manusia selama ini bukan sesuatu yang
tidak ada artinya. Sekecil apapun perbuatan itu. Kehadiran manusia ke bumi
melalui proses kelahiran, sedangkan kematian sebagai pertanda habisnya
kesempatan hidup di dunia dan selanjutnya kembali menghadap Allah untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup di dunia.
Ayat ini pula dengan sangat jelas
mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain
hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup
manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan
pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk
insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula
penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses
pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasarisebagai
pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering
diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan,
tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya
ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu
tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas
Hikmah
yang terkandung dalam surah Ad-Dzariyat ayat 56
a. Jin dan manusia dijadikan Allah swt
untuk tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya.
b.Menguatkan
perintah kepada manusia untuk selalu berzikir dan beribadah kepada Allah swt.
BAB III
B. Surat Al-Baqarah ayat 21
ياٍِيها الناس اعبدوا ربّكم الذى خلقكم والّذين من قبلكم
لعلكم تتّقون
"Hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa."
. Tafsir surat Al-Baqarah Ayat 21
Asbab An-Nuzul ayat tersebut berkaitan dengan
hadits : mengkabarkan kepadaku Sa'id ibn Muhammad ibn Ahmad Az-Zahid,
mengkhabarkan kepadaku Abu 'Ali ibn Ahmad Al-Faqih, mengkhabarkan kepadaku Abu
Turob Al-Quhustani, menceritkan kepadaku Abdurrahman ibn Bisr, menceritakan
kepadaku Rauh, menceritakan kepadaku Syu'bah, dari Sufyan Al-Tsauri, dari
Al-A'mas, dari Ibrahim, dari Alqomah berkata : "Setiap ayat yang turun dan
redaksinya memakai kata ياأيهاالناس maka ayat
tersebut turun di Makkah dan ياأيهاالذين أمنوا maka
ayat tersebut turun di madinah.
Yakni bahwa ياأيهاالناس itu khitobnya kepada
ahli Makkah dan
ياأيهاالذين أمنوا khitobnya kepada ahli Madinah, sedangkan ayat diatas khitobnya
kepada orang-orang musyrik Makkah.
Dalam pemaknaan lafadz الناس terdapat perbedaan, ada dua qoul. Qoul pertama yaitu arti kata الناس ialah
orang-orang kafir yang tidak menyembah Allah dan didukung firman Allah surat
Al-Baqoroh ayat 23. qoul kedua berpendapat bahwa lafadz الناسlebih bersifat umum yaitu berlaku untuk seluruh manusia,
maka khitobnya diperuntukkan untuk orang-orang yang beriman karena ia
senantiasa melaksanakan ibadah dan juga diperuntukkan bagi orang-orang kafir
karena mereka belum beribadah secara benar kepada Allah dan dengan ayat
tersebut diharapkan mereka segera mau beribadah kepada-Nya.
Perintah beribadah dan menyembah Allah saja yang difahamkan dari ayat ini,
adalah perintah yang telah dihadapkan pula oleh Allah SWT kepada seluruh
manusia sejak zaman dahulu dengan perantara rasul-rasul-Nya.
BAB IV
Surat Thaha ayat
14 :
إنّنى أنا الله لاإله إلاّ أنا
فاعبدٍْنى وأقم الصّلاة لذكرى
Artinya : "Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka
senbahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk menginggatku."
Sudah jelas dan
gamblang bagaimana Allah menjelaskan kepada kita tentang cara menginggat Allah
yaitu dengan sholat, maka janganlah memutar balikkan fakta tentang sesatu yang
sudah jelas adanya.
Sungguh merugi kalau kita tidak mau berterimakasih kepada orang-orang yang
telah berjasa kepada kita, Rasulullah SAW contohnya, ia adalah seorang rasul
yang telah menerima dan menyampaikan perintah beribadah (baik berupa ibadah
mahdhoh maupun ibadah ghoru mahdhoh) kepada kita semua sedang beliau bisa
mensinergikan antara keduanya.
Walaupun kita tahu bahwa Rasulullah sudah dijamin oleh Allah, beliau melakukan
ibadah mahdhoh maupunyang ghoiru mahdhoh, sedang kita orang yang banyak dosa
sudah berani mendakwakan diri sebagai orang yang benar dan telah mengetahui
hakikat.
Perlu kita camkan bahwa orang yang berusaha mencari-cari dalih agar ia terlepas
dari segala kewajiban, maka pada hakiaktnya kita telah menodai Risalah yang
dibawa oleh Rasulullah dan sekaligus kita adalah termasuk orang yang tidak
punya rasa terimakasih. Sungguh benar dikatakan bahwa :
من لم يشكرالنّاس لا يشكر الله
Barang siapa yang tidak mau bersyukur (berterimakasih) kepada manusia, maka ia
tidak mau barsyukur (brterimakasih) pula kepada Allah.
BAB V
Surat Yasin ayat :60-62
óOs9r& ôygôãr& öNä3ös9Î) ûÓÍ_t6»t tPy#uä cr& w (#rßç7÷ès? z`»sÜø¤±9$# ( ¼çm¯RÎ) ö/ä3s9 Arßtã ×ûüÎ7B . Èbr&ur ÎTrßç6ôã$# 4 #x»yd ÔÞºuÅÀ ÒOÉ)tGó¡B . ôs)s9ur ¨@|Êr& óOä3ZÏB yxÎ7Å_ #·ÏWx. ( öNn=sùr& (#qçRqä3s? tbqè=É)÷ès? .
60. Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam
supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu",
61.
dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.
62.
Sesungguhnya syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar diantaramu, Maka
Apakah kamu tidak memikirkan ?.
Tafsir
s.yasin ayat 60-62
60.Bukankah Aku telah
memerintahkan melalui janji di zaman Azali dalam Perjanjian Fitrah, agar kalian
tidak menyembah Syetan, yaitu menyembah kegelapan hijab keragaman, dan
mengikuti ajakan imajinasi
Syetan adalah
instrument Iblis, karena menurut Syeikh Abdul Karim Al-Jiily, syetan lahir dari
perzinahan Iblis dengan hawa nafsu di pasar duniawi, lalu lahirlah ruibuan
syetan yang menjadi alat hijab itu.
61.Jalan yang lurus
adalah Jalan Penyatuan Musyahadah dalam kefanaan hamba menuju Baqa’Nya. Itulah
puncak maqom Tauhid.
62. Penyesatan syetan dari satu generasi ke generasi,
adalah usahanya terus menerus agar manusia masuk dalam hijab kegelapannya, dan
jauh dari Nur Tauhid itu sendiri, sehingga ia tidak menyadari akan Perjanjian
Fitrahnya, ketika masih menjadi Ahsanu Taqwim, sebaik-baik makhluk.
Akal sehat adalah wujud matahati yang memandang dengan Nur Ilahi. Bila akal
sehat berapresiasi, maka ia mampu menembus tirai-tirai kegelapan. Sebab puncak
kegelapan itulah yang disebut dengan Jahanam.
BAB VI
Surat Maryam ayat
: 65
رَبُّ
السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ وَما بَيْنَهُما فَاعْبُدْهُ وَ اصْطَبِرْ لِعِبادَتِهِ
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا” َ
“.
Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya,
Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu
mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)”
Tafsir ayat : 65
Dialah Yang Menciptakan. Dialah yang mengatur semuanya
dan Dia pula Yang Maha Kuasa dan segala keputusanNya tidaklah dapat dibantah
dan dirobah, janganlah mendua hati lagi, jangan ragu dan jangan ada
perasaan dalam hati bahwa ada yang kuasa selain Dia, Ujung ayat ini pun adalah
salah satu tantangan lagi. Cobalah fikirkan baik-baik, adakah pada perkiraanmu
satu kekuasaan lagi yang menyamai kekuasaan Allah di dalam mentadbirkan semua
langit dan bumi ini?
BAB VII
Surat Al-Nahl : 36
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى
كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الْطَّـغُوتَ
فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَـلَةُ
فَسِيرُواْ فِى الاٌّرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَـقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ.
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut[826] itu", maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya[826]. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul).”
TAFSIR
AYAT
Kemudian daripada
itu Allah SWT menjelaskan bahwa para Rasul itu diutus sesuai dengan Sunatullah,
yang berlaku pada umat sebelumnya. Mereka itu adalah pembimbing manusia ke
jalan yang lurus. Bimbingan Rasul-rasul itu diterima oleh orang-orang yang
dikehendaki oleh Allah dan menyampaikan mereka kepada kesejahteraan dunia dan
kebahagiaan akhirat, akan tetapi orang-orang yang bergelimang dalam kemusyrikan
dan jiwanya dikotori oleh noda noda kemaksiatan tidaklah mau menerima bimbingan
Rasul itu.
Allah SWT
menjelaskan bahwa Dia telah mengutus beberapa utusan kepada tiap-tiap umat yang
terdahulu, seperti halnya Dia mengutus Nabi Muhammad saw kepada umat manusia
seluruhnya. Oleh sebab itu manusia hendaklah mengikuti seruannya, yaitu
beribadat hanya kepada Allah SWT yang tidak mempunyai serikat dan larangan
mengingkari seruannya, yaitu tidak boleh mengikuti tipu daya setan yang
selalu-menghalang-halangi manusia mengikuti jalan yang benar. Setan-setan itu
selalu mencari-cari kesempatan untuk menyesatkan manusia.
Tafsir Al-Azhar An-Nahl ayat: 36
“Dan sesungguhnya
telah kami utus pada tiap-tiap ummat seorang rasul, agar mereka menyembah
kepada Allah, dan menjauh dari berhala-berhala.”(pangkal ayat 36).
Sebagai ditafsirkan
oleh ibnu katsir: “ Maka senantiasalah Allah mengutus Rasul-rasul kepada
manusia, menyeru manusia supaya menyembah Allah yang Esa dan menjauhkan diri
dari Thaghut, sejak terjadinya manusia mempersekutukan yang lain dengan
Allah pada kaum Nuh, yang diutus kepada mereka Nuh. Maka Nuh itulah Rasul yang
mula-mula sekali diutus oleh Allah ke muka bumi ini, sampai di tutup dengan
kedatangan Muhammad s.a.w. yang dakwahnya melingkupi manusia, dan jin di timur
dan barat, dan sama sekali itu adalah menurut satu pokok Firman Allah, yaitu
membawa Wahyu bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan hendaklah kepada Allah
saja beribadah.”
Kata Ibnu Katsir
seterusnya : “ Tidak ada Allah ta’ala menghendaki bahwa mereka menyembah kepada
yang selain Dia, bahkan Dia telah melarang mereka berbuat demikian dengan
perantaraan lidah Rasul- rasulnya. Adapun kehendak Allah didalam mewujudkan
sesuatu yang mereka ambil alas an mengatakan takdir, tidaklah hal itu dapat
dijadikan hujjah, karena Tuhan Allah memang menciptakan neraka, dan penduduknya
ialah syaitan-syaitan dan kafir-kafir, tetapi tidaklah Allah Ridla hambaNya
jasi kafir. Dalam hal ini Tuhan mempunyai alas an yang cukup dan kebijaksanaan
yang sempurna.”
“Maka diantar
mereka ada orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan diantara mereka ada
yang tetap atasnya kesesatan, Maka berjalanlah di bumi dan pandanglah,
bagaimana kesudahannya orang-orang yang mendustakan.”(ujung ayat 36)
Keterangan ayat
ini Allah menunjukkan perbandingan diantara orang yang mendapat petunjuk Tuhan
dan orang-orang yang sesat. Manusia disuruh memandang dan merenungkan perbedaan
diantara hidup kedua golongan itu. Kita disuruh berjalan dimuka bumi dan
memperhatikan bagaimana akibat dari orang yang mendustakan Tuhan, orang yang
tidak sudi menerima kebenaran. Dalam ayat ini Allah menjelaskan tidak akan
selamat orang yang mendustakan ajaranNya
BAB VIII
Surat Al-Hajj : 77
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan.”
Ayat di atas
merupakan perintah yang ditujukan kepada kaum beriman agar melaksanakan misi
mereka. Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu, yakni laksanakan
shalat dengan baik dan benar, serta sembahlah Tuhan Pemelihara dan Yang selalu
berbuat baik kepada kamu, persembahan dan ibadah antara lain dengan berpuasa,
mengeluarkan zakat, melaksaakan haji, dan aneka ibadah lainnya dan perbuatlah
kebajikan seperti bersedekah, silaturrahim, serta amal-amal baik dan akhlak
yang mulia, semoga kamu yakni lakukanlah semua itu dengan harapan mendapat
kemenangan.
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat ini secara umum telah mencakup semua
tuntunan Islam, dimulai dari akidah yang ditandai dengan penamaan mereka yang
diajak dengan orang-orang yang beriman, selanjutnya dengan memerintahkan shalat
dengan menyebut dua rukunnya yang paling menonjol yaitu ruku’ dan sujud.
Penyebutan shalat secara khusus karena ibadah ini merupakan tiang agama.
Setelah itu disebut aneka ibadah yang mencakup banyak hal, bahkan dapat
mencakup aktivitas sehari-hari jika motivasinya adalah mencari ridha Ilahi, dan
akhirnya ditutup dengan perintah berbuat kebajikan yang menampung seluruh
kebaikan duniawi dan ukhrawi, baik yang berdasar wahyu maupun nilai-nilai yang
sejalan dengan tujuan syariat, baik yang berupa hukum dan undang-undang maupun
tradisi dan adat istiadat. Jika hal-hal di atas dipenuhi oleh satu masyarakat,
maka tidak diragukan pastilah mereka, secara individual dan kolektif, akan
meraih keberuntungan yakni meraih apa yang mereka harapkan di dunia dan di
akhirat.
La’allakum tuflihun (semoga kamu mendapat kemenangan) mengandung isyarat bahwa
amal-amal yang diperintahkan itu, hendaklah dilakukan dengan harapan memperoleh
al-falah (keberuntungan) yakni apa yang diharapkan di dunia dan di akhirat.
Kata la’alla (semoga) yang tertuju kepada para pelaksana kebaikan itu, memberi
kesan bahwa bukan amal-amal kebaikan itu yang menjamin perolehan harapan dan
keberuntungan apalagi surga, tetapi surga adalah anugerah Allah dan semua keberuntungan
merupakan anugerah dan atas izin-Nya semata.
Kata tuflihun terambil dari kata falaha yang juga digunakan dalam arti bertani.
Penggunaan kata itu memberi kesan bahwa seorang yang melakukan kebaikan,
hendaknya jangan segera mengharapkan tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia
harus merasakan dirinya sebagai petani yang harus bersusah payah membajak
tanah, menanam benih, menyingkirkan hama, dan menyirami tanamannya, lalu harus
menunggu hingga memetik buahnya. (M. Quraish Shihab, Vol-9, 2002:130 – 131)
BAB IX
Surat Az-Zumar Ayat 2 dan 3
فَاعْبُدِ
اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّين () أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan keta’atan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang
bersih. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara mereka
tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.”
قال: (
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ ) أي: أخلص للّه تعالى جميع دينك، من
الشرائع الظاهرة والشرائع الباطنة: الإسلام والإيمان والإحسان، بأن تفرد اللّه
وحده بها، وتقصد به وجهه، لا غير ذلك من المقاصد
Allah berfirman; “Maka sembahlah
Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya.” Maksudnya, ikhlaskan kepada Allah
Ta’ala seluruh agamamu, baik berupa syariat yang nampak dan syariat yang tidak
nampak, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan, dengan cara mengesakan Allah Ta’ala
dengannya dan dengan niat mengharapkan wajahNya, bukan niat apapun yang
lainnya.”
أَلا لِلَّهِ
الدِّينُ الْخَالِصُ ) هذا تقرير للأمر بالإخلاص، وبيان أنه تعالى كما أنه له
الكمال كله، وله التفضل على عباده من جميع الوجوه، فكذلك له الدين الخالص الصافي
من جميع الشوائب، فهو الدين الذي ارتضاه لنفسه، وارتضاه لصفوة خلقه وأمرهم به،
لأنه متضمن للتأله للّه في حبه وخوفه ورجائه، وللإنابة إليه في عبوديته، والإنابة
إليه في تحصيل مطالب عباده وذلك الذي يصلح القلوب ويزكيها ويطهرها، دون الشرك به
في شيء من العبادة. فإن اللّه بريء منه، وليس للّه فيه شيء، فهو أغنى الشركاء عن
الشرك، وهو مفسد للقلوب والأرواح والدنيا والآخرة، مُشْقٍ للنفوس غاية الشقاء،
فلذلك لما أمر بالتوحيد والإخلاص، نهى عن الشرك به، وأخبر بذم من أشرك به فقال
“Ingatlah, hanya kepunyaan
Allah-lah agama yang bersih.” Ini adalah penegasan perintah ikhlas dan
penjelasan bahwasannya Allah Ta’ala, sebagaimana halnya kepunyaanNya-lah semua
kesempurnaan dan karunia atas hamba-hambaNya dari segala sisi, maka demikian
juga hanya milikNya-lah agama yang bersih lagi bebas dari segala noda. Itulah
agama yang diridhaiNya dan diridhai oleh manusia pilihanNya dan yang
diperintahkan kepada mereka, sebab ia berisi mempertuhankan Allah dalam
mencintaiNya, takut dan berharap kepadaNya, berinabah (kembali) kepadaNya dalam
mencari segala kebutuhan hamba-hambaNya. Itulah yang bisa memperbaiki qalbu
(hati), membersihkan dan menyucikannya; kecuali mempersekutukanNya dalam ibadah
apapun, karena Allah Ta’ala anti darinya dan persekutuan itu tidak layak bagi
Allah. Sebab, Dia adalah Rabb yang paling tidak membutuhkan syirik
(persekutuan) dan syirik itu merusak kalbu, ruh, dunia dan akhirat dan sangat
menyengsarakan jiwa dengan kesengsaraan yang paling menyakitkan.
Maka dari itu, setelah Allah
memerintahkan tauhid dan ikhlas, Allah melarang syirik kepadaNya
(mempersekutukanNya) dan Dia menginformasikan celaan terhadap siapapun yang
mempersekutukanNya,
seraya berfirman;
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ )
أي: يتولونهم بعبادتهم ودعائهم، معتذرين عن أنفسهم وقائلين )
“Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah”, maksudnya berlindung kepada mereka dengan menyembah
dan berdoa kepada mereka, sambil mengemukakan pembelaan terhadap diri mereka
dan berkata;
( مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى ) أي: لترفع حوائجنا للّه، وتشفع لنا عنده، وإلا فنحن نعلم أنها، لا
تخلق، ولا ترزق، ولا تملك من الأمر شيئا أي: فهؤلاء، قد تركوا ما أمر اللّه به من
الإخلاص، وتجرأوا على أعظم المحرمات، وهو الشرك، وقاسوا الذي ليس كمثله شيء، الملك
العظيم، بالملوك، وزعموا بعقولهم الفاسدة ورأيهم السقيم، أن الملوك كما أنه لا
يوصل إليهم إلا بوجهاء، وشفعاء، ووزراء يرفعون إليهم حوائج رعاياهم، ويستعطفونهم
عليهم، ويمهدون لهم الأمر في ذلك، أن اللّه تعالى كذلك وهذا القياس من أفسد
الأقيسة، وهو يتضمن التسوية بين الخالق والمخلوق، مع ثبوت الفرق العظيم، عقلا
ونقلا وفطرة، فإن الملوك، إنما احتاجوا للوساطة بينهم وبين رعاياهم، لأنهم لا يعلمون
أحوالهم. فيحتاج من يعلمهم بأحوالهم، وربما لا يكون في قلوبهم رحمة لصاحب الحاجة،
فيحتاج من يعطفهم عليه [ويسترحمه لهم] ويحتاجون إلى الشفعاء والوزراء، ويخافون
منهم، فيقضون حوائج من توسطوا لهم، مراعاة لهم، ومداراة لخواطرهم، وهم أيضا فقراء،
قد يمنعون لما يخشون من الفقر وأما الرب تعالى، فهو الذي أحاط علمه بظواهر الأمور
وبواطنها، الذي لا يحتاج من يخبره بأحوال رعيته وعباده، وهو تعالى أرحم الراحمين،
وأجود الأجودين، لا يحتاج إلى أحد من خلقه يجعله راحما لعباده، بل هو أرحم بهم من
أنفسهم ووالديهم، وهو الذي يحثهم ويدعوهم إلى الأسباب التي ينالون بها رحمته، وهو
يريد من مصالحهم ما لا يريدونه لأنفسهم، وهو الغني، الذي له الغنى التام المطلق،
الذي لو اجتمع الخلق من أولهم وآخرهم في صعيد واحد فسألوه، فأعطى كلا منهم ما سأل
وتمنى، لم ينقصوا من غناه شيئا، ولم ينقصوا مما عنده، إلا كما ينقص البحر إذا غمس
فيه المخيط وجميع الشفعاء يخافونه، فلا يشفع منهم أحد إلا بإذنه، وله الشفاعة كلها
فبهذه الفروق يعلم جهل المشركين به، وسفههم العظيم، وشدة جراءتهم عليه ويعلم أيضا
الحكمة في كون الشرك لا يغفره اللّه تعالى، لأنه يتضمن القدح في اللّه تعالى، ولهذا
قال حاكما بين الفريقين، المخلصين والمشركين، وفي ضمنه التهديد للمشركين
“Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
Maksudnya, agar mereka mengajukan segala kebutuhan kami kepada Allah dan
menjadi pemberi syafa’at bagi kami di sisiNya, kalau bukan demikian, maka
sesungguhnya kami mengetahui bahwasannya berhala-berhala itu tidak bisa
menciptakan sesuatu, tidak memberi rizki dan tidak memiliki sesuatu apapun.
Maksudnya, orang-orang musyrik itu telah mengabaikan apa yang telah Allah
Ta’ala perintahkan, yaitu ikhlas (tauhid), dan mereka dengan lancang telah
melakukan perbuatan haram yang paling besar, yaitu syirik.
Mereka mengkiaskan Rabb yang tidak
ada sesuatu pun yang menyerupaiNya, Yang Maharaja nan Mahaagung dengan
raja-raja (penguasa). Mereka beranggapan berdasarkan akal mereka yang rusak dan
pikiran mereka yang sakit, bahwasanya para raja tidak mungkin bisa langsung
ditemui kecuali melalui orang-orang terdekatnya, orang-orang kepercayaannya,
dan para menterinya yang mengajukan berbagai kepentingan (tuntutan) rakyatnya,
dan membujuknya untuk mengasihani rakyatnya serta memudahkan segala
permasalahan dalam hal tersebut, maka demikian juga (dengan) Allah
Ta’ala.[Analogi inilah yang sering mereka kemukakan tatkala ditanya, “Mengapa
engkau menjadikan para penghuni kubur itu sebagai wasilah terhadap doa atau
permohonan-permohonanmu?”. Cocok sekali dengan apa yang dijelaskan oleh
al-‘Allamah as-Sa’dy –raheemahullaahu- diatas]
Analogi (qiyas) seperti ini adalah
analogi yang paling rusak, karena mengandung makna penyetaraan sang Khaliq
(Pencipta) dengan makhluq, padahal sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat
besar antara keduanya secara akal, syar’i dan fitrah. Para raja membutuhkan
perantara (pembantu) yang menghubungkan mereka dengan rakyatnya, sebab mereka
tidak mengetahui kondisi rakyat, maka dibutuhkan orang yang (bertugas)
memberitahu mereka tentang kondisi rakyat secara langsung; dan barangkali tidak
ada rasa kasih sayang di dalam hati mereka kepada orang yang mempunyai
keperluan (tuntutan), sehingga dibutuhkan orang yang bisa membuat hati mereka
kasihan kepada mereka. Dan mereka membutuhkan para pembantu dan para menteri,
dan rakyat takut kepada mereka, sehingga para raja mau memenuhi kebutuhan
orang-orang yang berperantara kepada mereka demi menghormati dan menjaga
perasaan mereka. Para raja itu juga sebenarnya orang-orang fakir, kadang
menahan sesuatu karena takut miskin.
Adapun Rabb, Allah Ta’ala, Dialah
yang pengetahuanNya meliputi segala sesuatu, baik perkara-perkara yang nampak
maupun yang tidak nampak. Dia tidak membutuhkan orang yang menginformasikan
kepadaNya tentang keadaan hamba-hambaNya, dan Dia juga (Dzat) Yang
Mahapengasih, Mahapemurah, tidak membutuhkan kepada salah seorang makhlukNya
untuk menjadikanNya mengasihi hamba-hambaNya. Bahkan Dia lebih (kasih) sayang
terhadap mereka daripada diri mereka sendiri dan daripada kedua orang tua
mereka. Dia-lah yang menghimbau dan mengajak mereka untuk melakukan sebab-sebab
yang dengannya mereka bisa mendapatkan rahmatNya, dan Dia menghendaki
kemashlahatan mereka yang tidak mereka kehendaki untuk diri mereka. Dia-lah
Yang Mahakaya, yang milikNya-lah kekayaan yang sempurna lagi absolut (mutlak),
yang jika sendainya seluruh manusia dari yang terdahulu hingga kemudian
terkumpul di satu tempat lalu semuanya memohon kepadaNya, kemudian Dia memberi
masing-masing permohonan dan harapannya, maka mereka tidak (akan) mengurangi
sedikitpun kekayaanNya dan mereka juga tidak mengurangi apa-apa yang ada di sisiNya
kecuali seperti berkurangnya samudera apabila sebilah jarum ditenggelamkan ke
dalamnya (lalu diangkat). Dan seluruh pemberi syafa’at takut kepadaNya,
sehingga tidak seorang pun di antara mereka dapat memberikan syafa’at kecuali
dengan izinNya, dan milikNyalah seluruh syafa’at.
Dengan perbedaan-perbedaan ini dapat
diketahui (bagaimana) kebodohan orang-orang musyrikin, kedangkalan pikiran
mereka dan betapa lancangnya mereka kepada Allah. Dan juga diketahui hikmah
kenapa syirik itu tidak diampuni oleh Allah Ta’ala, yaitu karena syirik
mengandung arti melecehkan Allah Ta’ala. Maka dari itu Dia berfirman sembari
memberi keputusan antara kedua golongan; orang-orang yang bertahuid dan
orang-orang musyrik, dan di dalamnya terdapat ancaman bagi kaum musyrikin,
( إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ )
وقد علم أن حكمه أن المؤمنين المخلصين في جنات النعيم،
ومن يشرك باللّه فقد حرم اللّه عليه الجنة، ومأواه النار
“Sesungguhnya Allah akan
memutuskan diantara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya”. Sudah
dimaklumi bahwa keputusanNya adalah bahwa orang-orang yang beriman yang berlaku
ikhlas ditempatkan di dalam surga-surga kenikmatan, sedangkan siapa saja yang
mempersekutukan Allah, maka Allah telah mengharamkan surga bagiNya dan tempat
tinggalnya adalah neraka.
( إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي ) أي: لا يوفق للهداية إلى
الصراط المستقيم ( مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ ) أي: وصفه الكذب أو الكفر، بحيث
تأتيه المواعظ والآيات، ولا يزول عنه ما اتصف به، ويريه اللّه الآيات، فيجحدها
ويكفر بها ويكذب، فهذا أنَّى له الهدى وقد سد على نفسه الباب، وعوقب بأن طبع اللّه
على قلبه، فهو لا يؤمن؟
“Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk”, maksudnya, tidak membimbing menuju hidayah pada jalan yang lurus,
“orang-orang yang pendusta lagi sangat ingkar.” Maksudnya, orang yang
karakternya adalah dusta atau kufur, dimana nasihat-nasihat dan ayat-ayat
sampai kepadanya, maka apa yang menjadi karakternya tidak pernah hilang
darinya. Dan Allah memperlihatkan kepadanya tanda-tanda (mukjizat) namun ia
mengingkari, kafir dan mendustakannya. Maka orang yang seperti ini, bagaimana
mungkin bisa mendapatkan petunjuk, karena dia telah menutup pintu rapat-rapat
atas dirinya sendiri, dan ia dihukum dengan ditutup oleh Allah akan hatinya,
maka dari itu ia tidak beriman.” [Taiseer al-Kareem ar-Rahman vol. 6, juz.
23 dengan tahqiq: Sa’ad bin Fawwaz ash-Shumail]
BAB X
Surat al-Mu’minun
: 32
فَأَرْسَلْنا
فيهِمْ رَسُولاً مِنْهُمْ أَنِ
اعْبُدُوا
اللهَ ما لَكُمْ مِنْ إِلهٍ غَيْرُهُ أَفَلا تَتَّقُونَ
(Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari
kalangan mereka sendiri) yaitu Nabi Hud ("Hendaklah) ia mengatakan kepada
mereka (kalian menyembah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain
daripada-Nya. Mengapa kalian tidak bertakwa) takut kepada azab-Nya karenanya
kalian harus beriman kepada-Nya
Tafsir
ayat ini :
Tersebut
di dalam catatan al-Quran Surat al-A'raf, bahwasanya setelah binasa ummat Nabi
Nuh, ditimbulkan Tuhanlah ummat yang baru, yaitu kaum `Ad dan pula kepada
mereka seorang Nabi, yaitu Nabi Hud. Kedatangan Nabi ini, sebagaimana juga
kedatangan setiap Nabi kepada kaumnya ialah memberi pimpinan pegangan hidup.
Faham primitif yang mendewakan segala yang ganjil, menyembah segala yang
bertuah, adalah dari kesalahan berfikir belaka.
Persembahan
hanyalah kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Allah. Itulah
yang diperingatkan oleh Nabi Hud itu sebagai tersebut dalam ayat 32 di atas.
Beliau beri ingat dengan pertanyaan: "Tidakkah kamu takut?" Tidakkah
kamu insafi bahwa perbuatanmu yang telah dimulai dengan kesalahan berfikir,
akhir kelaknya akan membawa natijah yang salah juga ?
BAB XI
Surat
al-Anbiya’ :25
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak
mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu
melainkan kami wahyukan kepadanya;
bahwasannya tidak ada
Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku”.
Tafsir Al- Qur’an Surat Al-Al-Anbiya Ayat 25
Dan kami tidak mengutus seorang Rasul
pun sebelum kamu Muhammad, kecuali kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada
tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah, maka ikhlaskanlah ibadah hanya
untuk-Nya.
Maka setiap Nabi yang diutus oleh Allah
mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan
fitrah pun menjadi saksi hal tersebut. Sedangkan orang-orang musyrik tidak
memiliki bukti dan hujjah yang jelas di sisi Rabb mereka, mereka akan
mendapatkan kemurkaan dan azab yang amat pedih
Surat
al-Anbiya’ Ayat 92 :
إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ
“Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku”
Tafsir ayat
ini :
Dan mereka telah
memotong-motong urusan (agama) mereka di antara mereka. Kepada Kamilah
masing-masing golongan itu akan kembali Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu
‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
menyatakan bahwa makna redaksi إِنَّ هَذِهِ
أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
adalah “agama kalian adalah agama yang satu”. Imam Hasan al Bashri menafsiri
redaksi ini dengan menyatakan “sesungguhnya sunnah kalian adalah sunnah yang
satu”. Ibnu Katsir menyatakan dhamir hadzihi merupakan isim inna, frase
ummatukum sebagai khabar inna,dan frase ummatan waahidatan manshub sebagai haal
(keadaan), beliau kemudian menyatakan “syariat kalian ini adalah syariat yang
diterangkan dan dijelaskan”. Dalam tafsir Jalalain ditegaskan bahwa makna frase
hazdihi adalah agama (milah) Islam. Berdasarkan beberapa penafsiran di atas
dapat disimpulkan bahwa agama Islam dengan agama-agama samawi lain yang Allah
turunkan adalah satu, Imam Abu Bakar al Jazairi menegaskan: “Islam adalah
millah (agama) yang satu sejak masa Nabi Adam as. Hingga masa Nabi Muhammad
saw. Alasannya karena agama (ajaran) para nabi adalah satu yakni beribadah
kepada Allah saja (tauhid) berdasarkan apa-apa yang disyariatkan pada mereka”.
Berdasarkan pernyataan pernyataan Imam al Jazairi di atas juga dapat
disimpulkan bahwa syariat dari setiap Rasul bisa saja berbeda tetapi dalam hal
tauhid semua nabi dan rasul sama, yakni mentauhidkan Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun juga. Kesimpulan ini diperkuat dengan
pendapat Imam Ibnu Katsir saat menafsiri redaksi وَأَنَا
رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ ,
beliau menyatakan “maksudnya adalah beribadah kepada Allah saja tanpa
menyekutukan-Nya, (beribadah) dengan syariat-syariat yang berbeda-beda bagi
Rasul-rasul-Nya, kemudian beliau mengutip fiman Allah: { لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا } [المائدة :48] Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang (QS. al Maidah [5]: 48) Kesimpulannya,
bahwa agama Islam adalah agama yang satu karena persamaannya dalam tauhid
(pengesaan Allah SWT) akan tetapi setiap Rasul membawa syariatnya
sendiri-sendiri
BAB XII
Surat
al-Kahfi : 110
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini
manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya
Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan perbuatan yang baik dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"
Tafsir ayat ini :
Pada Kebiasaanya pada diri manusia
itu ada kecenderungan berprilaku atau bersifat Hewani, maka dalam ayat ini
disebutkan dengan menggunakan kata (بشر), Bukan ( انسان ), perbedaan antara kata بشر dan انسان
adalah apabila بشر kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat fisik atau berkulit
sedangkan انسان lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat kejiwaan.
Dalam tafsir ayat ini disebutkan bahwa kita sebagai manusia biasa terdapat
suatu kesamaan dan perbedaan dengan Nabi,) مثلكم) yaitu sama-sama manusia ( (بشر tetapi
ada pada diri Nabi sisi kelebihannya yaitu diberi Wahyu, dengan menggunakan
kata (يوحي)
mabni majhul yang berarti diberi wahyu bukan mendapatkan wahyu, dalam hal ini
Nabi diberikan Wahyu oleh Allah sebagai tugas yang diembannya untuk disampaikan
pada umatnya.
Dalam kandungan tafsir ayat ini juga terdapat suatu kemungkinan bagi manusia
biasa untuk dapat bertemu dengan Tuhannya dialam dunia ini, Manusia bisa saja
bertemu dengan Allah di dunia, hal ini sesuai dengan makna firman Allah:
فمن كان يرجوا لقاء ربه
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya,”
Tapi bukan berarti bertemu dengan Tuhannya secara nyata atau dengan penglihatan
mata telanjang, akan tetapi manusia dapat berjumpa dengan Tuhannya dengan
beberapa cara yakni dengan cara menggunakan mata batinnya pada saat melakukan
Shalat dalam keadaan khusyu’, keterangan potongan ayat tersebut di atas ada
korelasinya dengan ayat:
الذين يظنون انهم ملقواربهم وانهم اليه راجعون
Artinya: (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya,
dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah: 46)
Hal yang sangat aneh apabila manusia kelak di akhirat nanti menginginkan
bertemu dengan Tuhannya, tapi di dunia ini tidak pernah bertemu dengan Allah,
Jadi tidak akan mungkin seseorang akan bertemu dengan Allah kelak di akhirat
nanti apabila di dunia ini ia belum pernah bertemu dengan Allah dengan mata
batinnya dalam shalatnya yang khusya’. Maka manusia dituntut untuk selalu
berbuat kebaikan dan berkarya yang baik lagi bermanfaat sebagai suatu target
dan tujuan dalam penghambaan terhadap Allah.
فليعمل عملا صالحا ولايشرك بعبادة ربه احدا
“Maka hendaklah ia mengerjakan perbuatan yang baik dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"
Dalam hidup ini kita dianjurkan untuk selalu berbuat baik kepada sesamanya dan
hendaknya mempunyai suatu karya terbaik yang dapat selalu dikenang,
dimanfaatkan dan dirasakan oleh semua orang sebagai suatu perwujudan pengabdian
diri manusia terhadap Tuhannya, yang merupakan suatu target dalam hidup didunia
untuk mengabdi kepada Allah. Semoga kita semua sebagai makhluk yang baik selalu
berbuat baik untuk dunia ini dan dapat mempunyai suatu karya yang dapat
dikenang dan dimanfaatkan oleh sesamanya
BAB XIII
PENUTUP
Kesimpulan
Ibadah adalah suatu perintah dari Allah yang harus kita laksanakan dengan jiwa
dan hati yang tulus dan ikhlas. Ibadah kita, mengisyaratkan bahwa kita sebagi
seorang hamba membutuhkan terhadap rahmat, hidayah, taufiq maupun pertolongan
dari Allah SWT, akan tetapi perlu di ingat bahwa rasa kebutuhan kita terhadap
Allah tidak akan mengurangi rasa tulus ikhlas kita dalam beramal.
Terdapat dua jenis ibadah dalam diri manusia (ibadah mahdhoh dan ibadah ghoiru
mahdhoh) yang keduanya harus seimbang, jangan dipahami setengah-setengah,
karena keduanya adalah perintah yang diberikan Allah kepada kita semuanya
melalui rasulnya Muhammad SAW.
Tiap-tiap ibadah yang kita kerjakan hendaknya didorong oleh keyakinan kepada
kebesaran dan kekuasaan Allah serta timbul atas rasa syukur dan hutang budi
kita kepada-Nya, jika demikian maka ibadah akan menjauhkan diri kita dari
perbuatan yang tidak baik dan yang dilarang oleh Allah SWT.
Tetapi ibadah yang tidak didasari atas beberapa aspek diatas akan terkesan
hanya karena sebatas memelihara tradisi yang sudah turun temurun, kendatipun
memiliki rupa dan bentuk ibadah. Tak ada ubahnya dengan patung dan gambar yaitu
hanya sebagai simbol. Selanjutnya ibadah yang semacam itu, tidak ada kesan dan
buahnya kepada tabiat dan akhlak orang yang beribadah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, Jakarta, 2000
Al-Imam Fakhruddin Muhammad Umar ibn Al-Husain ibn Al-Hasan, At-Tafsir
Al-Kabiir Au Mafaatiihul Ghoib, Beirut, Libanon : Dar Al-Kotob Al-'Alamiah,
2006
Shihab, M. Quraish, Logika Agama Kedudukan Wahyu & Batas-Batas akal Dalam
Islam, Jakarta : Lentera Hati, 2005
Abu 'Abdillah Muhammad Ahmad Al-Ansori Al-Qurtuby, Al-Jami' Li Ahkami
Al-Qur'an, Beirut, libanon : Dar Al-Kotob Al-'Alamiah, 2006
Nashiruddin Abi Sa'id Abdillah ibn Umar Muhammad Al-Syairozi Al-Baidhowi,
Tafsir Al-Baidhowi, Beirut, Libanon : Dar Al-Kotob Al-'Alamiah, 2006
Shihab, M. Quraisy, Tafsir Al-Misbah Pesan "Kesan dan keserasian Al-Qur'an",
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Thalhah, Hisyam, Mu'jizat Al-Qur'an dan Hadits, Bandung: Sapta Sentosa, 2008
Al-Imam Abi Al-Hasan Ali ibn Ahmad Al-Wahidi, Asbaabu Nuzul Al-Qur'an, Beirut,
Libanon : Dar Al-Kotob Al-'Alamiah, 2006
Departemen agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan Al-Jumanatul 'Ali, Bandung: CV
penerbit ART, 2005